Selasa, 14 Juli 2009

Agar Akal Tidak Tergelincir

Rubrik Ruhaniyat Majalah Tarbawi


Bagaimana keadaan kita hari ini saudaraku? Tundukkan hati. Ucapkanlah puji dan syukur kita kepada Allah karena hingga saat ini, kaki kita masih tetap kuat dan kokoh berpijak di sini. Sebuah perjalanan, pasti mengandung resiko. Sebuah langkah pasti mengandung konsekuensi. Tapi hanya di jalan inilah, dijalan taat kepada Allah, di jalan pengabdian kepada Allah, di jalan pengorbanan untuk Allah, semua resiko bisa kita rasakan sebagai kenikmatan. Maka, ungkapkanlah lagi rasa syukur kita itu lagi, "Alhamdulillah ala kulli haal.." Segala puji hanya untuk Allah atas segala keadaan.

Saudaraku,
Allah swt mengaruniai kita akal dan kemampuan berfikir. Akal dan fikiran kita adalah bekal yang teramat mahal dalam hidup kita ini. Akal kita, bukan wahyu. Tapi ia menjadi perantara kita mengenal wahyu. Kemampuan akalah yang menjadi faktor utama dalam menilai apakah seseorang sudah wajib melaksanakan perintah Allah atau belum. Fungsi akalah yang menjadi alasan mendasar, untuk menimbang apakah seseorang sudah saatnya dikenakan hukuman bila ia menerjang perbuatan dosa. Akal juga yang menjadi sarana penting untuk mengetahui jalan yang selamat, dan terhindar dari bahaya. Tanpa ini. Dan karenanya, kebodohan yang identik dengan tidak berfungsinya akal, adalah yang paling besar bagi kita
Ada banyak firman-firman Allah yang mengajak kita untuk menggunakan akal. Kalimat yang mengajak kita untuk menggunakan akal, baik dalam bentuk kalimat "la'allakum ta'qiluuun" yang artinya agar kalian berfikir, atau "afalaa ta'qiluun" yang berarti apakaj kalian tidak berakal atau berfikir, tersebar dalam puluhan ayat Al-quran

Tapi ingat saudaraku,
Akal juga yang bisa membuat kita terseret bahaya. Seperti yang dikhawatirkan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam kata-katanya kepada Roja' bin Haywa,"Wahai Roja',aku mempunyai akal tapi aku takut Allah akan mengazabku karena akalku.." (Sirah wa Manaqib Umar, Ibnul Jauzi, 252)
Umar bin Abdul Aziz yang ahli ibadah itu takut sekali dengan kemampuan akalnya yang besar. Khawatir bila kemampuan berfikirnya akan mendorongnya hingga mengeluarkan alasan merubah larangan menjadi sesuatu yang boleh dan wajar dilakukan. Takut bila potensi berfikirnya berfungsi untuk menghindarkan dirinya dari kewajiban. Was-was bila ketajaman akalnya perlahan-lahan mengajaknya lebih bersandar kepada kemampuan diri sendiri, ketimbang menyandarkan diri kepada Kuasa Allah swt. Lalu tunduk pada pandangan akal sendiri hingga kehilangan sandaran kuatnya, Allah swt dan meninggalkan benteng kuat yang akan melindunginya, Allah swt.
Di antara penyimpangan fungsi akal adalah pengesahan pekerjaan yang berdosa tapi menjadi wajar dan lumrah, bahkan keharusan. Ini adalah bagian dari fitnah akal yang sangat berbahaya. Praktiknya, mungkin jarang dilakukan didepan orang banyak, tapi bisa tercetus secara bertubi-tubi dalam hati kita untuk memuaskan dan memenangkan diri sendiri dengan perbuatan dosa yang sudah dilakukan.

Lihatlah bagaimana sikap orang-orang munafiq yang minta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut dalam barisan mujahidin karena takut terjerumus fitnah. Mereka berargumen dengan tidak pergi bersama Rasulullah dalam jihad, mereka bisa selamat dari fitnah yang membahayakan. Padahal hakikatnya, justru merekalah yang terjerumus dalam fitnah tersebut. Kisahnya disebutkan dalam Al-quran, "Di antara mereka, ada yang berkata: "Berilah saya izin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan aku terjerumus kedalam fitnah. Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus kedalam fitnah." (QS At Taubah : 49)
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyinggung masalah ini. Untuk menghindar dari penyalahgunaan akal dan fikiran, ia mengatakan sebaiknya kita menghimpun antara ilmu syariah dengan ilmu pensucian jiwa (tazkiyah). "Banyak keadaan orang yang meninggalkan apa yang wajib atas mereka dari amar ma'ruf dan wahyul munkar dan jihad dengan alasan agar mereka terhindar dari kotoran nafsu dan syahwat. Padahal sebenarnya mereka sendirilah yang telah jatuh dalam fitnah yang lebih besar karena anggapan mereka telah terhindar darinya. Karena yang wajib mereka lakukan adalah melakukan kewajiban itu sendiri, sekaligus menghindari hal-hal yang dilarang dalam melakukannya. Kedua-duanya wajib dilakukan." (Fatawa Ibnu Taimiyah, 28/168)

Saudaraku,
Begitulah, Akal dan fikiran kita bisa juga menjadi pintu kemaksiatan yang menggeser amal ketaatan. Akal bisa menjadi sarana seseorang menjadi ujub sombong lalu membuang sikap tawahu' dan rendah hati. Akal dan fikiran bisa membuat banyak alasan agar seseorang boleh melakukan kesalahan yang sebenarnya dilarang, tapi dengan argumentasi yang sepertinya memuaskan. Tanpa ketakwaan dan sikap wara', kemampuan akal bisa memunculkan sikap melupakan dosa, membesar-besarkan suatu ketaatan, piawai menyembunyikan keburukan dan aib-aib diri, merasa lebih baik dari orang lain, dan ujungnya tuli dari menerima nasihat, dan buta dari memandang kebenaran.
Dahulu, para salafushalih telah menemukan satu cara yang sangat efektif untuk mengendalikan akal dan fikiran mereka. Mereka melakukan suatu kebiasaan yang bisa mengarahkan fungsi akal untuk selalu dekat dengan kehendak Allah swt. Cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan tadabbur dan tafakkur atau merenung dan berfikir tentang ciptaan Allah. Dengan cara itulah mereka menguak banyak ilmu dan memetik buah dari akal, yang efeknya bisa lebih mendorong mereka melakukan amal-amal ketaatan. Dengan cara itulah, mereka tetap merasa kerdil tidak berdaya dihadapan kebesaran dan kekuasaan Allah swt.

Saudaraku,
Merenungi ciptaan Allah, berfikir tentang diri sendiri, hanyut dalam keheningan untuk memikirkan berbagai kekuasaan Allah, adalah ibadah. Sufyan Ats-Tsauri, pernah melakukan tafakkur tentang langit hingga ia sangat takut, bersedih dan pingsan. Istri Abu Darda saat ditanya tentang keadaan suaminya, Abu Darda yang sangat terkenal dengan kualitas dan kuantitas amal-amal shalihnya, mengatakan, "Keadaannya yang paling banyak adalah tafakkur"

Saudaraku,
Mari kita bertafakkur. Berhati-hatilah digelincirkan syaitan dengan meninggalkan amal shalih dengan alasan memelihara tawadhu' dan ikhlas. Berhati-hatilah meninggalkan sebuah tanggung jawab, jika hal itu harus kita lakukan, dengan alasan mengutamakan juhud. []