Rabu, 10 Juni 2009

Iya, sayang

25 tahun yang lalu,

Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku
dan
Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor
Catatan
Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi
pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau
hidangan
istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat
bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,

Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan
keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya
momongan.
Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi
perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia
tampak
sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur
seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa
prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan
orangtua
Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat
nanti, mereka pasti akan berubah.
19 tahun yang lalu,

Kamila ku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi
ke lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah
dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang
berteriak,"Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca.
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang
"Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia
merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya
jadi tomboy apalagi ja di pemain bola seperti yang sering
diucapkannya.
"Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku
tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola.
Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang
sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
"Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang lalu

Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan.
Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti
ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan.
Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan
kehati-hatianku
dan "Iyaaaa". Sebuah truk pasir telak menghanta m tubuhku,
lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang yang kelam menyelimuti
pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara
pekerjaanku
mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat
Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu,

Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon
habis
untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur.
Kania
mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya
bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala
makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa
berkata apa-apa waktu Kania ia hendak mencari ke luar negeri. Dia
ingin penghasilan
yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan
atau
tidak diizinkan dia a kan tetap pergi. Begitu katanya. Dan
akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu,

Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik
tapi
itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku
harus
mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar
dia
loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan
kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,
menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan
aku
tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya
dalam
segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk
mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan
Kamila
hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam
kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalo kere ya kelaut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung
menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku."Pak, Iya pake jilbab
aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
hatiku.
Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku
bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu
tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya
padaku
karena sekolahnya hanya
terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,

Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,
kembali
menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya.
Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu
untuknya. Dan itu pula yang mem buat aku takut. Semalam Kamila
bilang
dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari
pekerjaan di
sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku habis dan dia ingin
agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku
uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang,
menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti
waktu
lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya
berdoa
agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,

Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun
dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang
nyonya.
Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk.
Matanya
tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan.
Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia
sudah ingin
pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran
tahun
ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya.
Aku
senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba.
Kamila
bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang
baik
usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa
sunnah
yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa
mungkin untuk
kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai
menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,

Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan
Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati,
karena
dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat
kabar ini.
Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak
mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta
bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak
dihukum mati
andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan
dia
harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak
bisa
apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia
pergi
apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia
bola
apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia.
Anakku ingin aku ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia
kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku
berlari tapi
apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan
itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa
ditukar,
aku ingin menggantikannya. "Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya
sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau.
Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela
kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau.
Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon
hukuman pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,

Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan
hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan
ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan
dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak
anakku. Dan
'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis.
Setelah
yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar
langkah kaki
menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan
tersenyum
sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar
oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal. "Kania?"
"Mas Har, kau . !"

"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"

"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.

"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah
besar."

"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang
petugas
menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam
di
tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya
"Terima kasih Mama."
Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu
wanita itu ibunya.

Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.
Yang aku
tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar
kabarnya dia
mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku,
Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia
sering
berteriak, "Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu
Kania,
kali ini yang
pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak
seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila
anak kita.
Benarkah begitu Iya sayang?

0 komentar:

Posting Komentar