Kamis, 18 Maret 2010

Anak, Ayah dan Untanya



Pernah suatu ketika ada seorang anak bersama ayahnya dan seekor unta yang ditungganginya. Ayah dari anak tersebut mengajaknya menuju pasar tak jauh dari tempat tinggal mereka berdua. Awalnya ia hendak mengajaknya berkeliling mengitari pasar sekedar untuk turut serta dalam keramaian hiruk-pikuk pasar yang tak terkendali. Anaknya duduk diatas unta dan ayahnya berjalan sambil setia dengan genggaman jarinya bersama tali yang mengikat unta tersebut. Selama perjalanan banyak yang bisa dilihat, dari mulai geliat perjuangan seorang wanita renta yang berburu barang bekas berkualitas obralan lidah yang indah. Ada pula pengorbanan seorang ibu yang tak lelah menawar serendah mungkin harga selembar kulit unta sampai penjualnya menangis tak kuasa melayani “transaksi sistemik” si ibu tersebut. Di sebelah kanan, tak henti-hentinya hilir-mudik kuli panggul yang setia menggugurkan peluh sambil memanggul barang bawaan sang tuan dadakan.
“Duhai anakku, ku kenalkan padamu sebuah tempat. Pasar namanya. Dan engkau sedang berada disini.” Lirih sang Ayah.

Mereka terus berjalan sambil mengamati semua pembeli dan penjual di pasar tersebut. Tak satupun mereka jumpai kecuali yang ada adalah pembeli yang ingin murah dan pedagang yang ingin laba melimpah. Tak sedikit dari mereka rela berbohong, menaikkan modal lewat lidah mereka sendiri atau mempermainkan takaran timbangan. Ada pula pembeli yang rela dengan susah payah menawar serendah-rendahnya harga barang yang mereka hendak beli yang pada akhirnya tak ada transaksi karena memang itulah kenikmatan sang pembeli; menawar dengan susah payah, karena itulah makna perjuangan.
“Duhai anakku, inilah pasar sekarang kau mulai mengenalinya.” Lanjut sang Ayah menutup babak kedua penjelasan.

Langkah unta mengiringi langkah sang Ayah mengikuti vektor tali genggaman tangan hitam keriput seorang renta nan mulia. Diujung jalan sang Ayah tertarik dengan kerumunan laki-laki. Mereka bukan penjual, bukan pula pembeli. Tak sadar mereka ternyata sebentar lagi berada dalam pusaran juragan pasar yang berkumpul menerima upeti harian sambil terbelalak mendengar cerita lucu juragan yang lain sesama mereka.
“Hei, tak ada orang yang paling durhaka kecuali seorang anak yang membiarkan ayahnya berjalan diatas terik matahari sedangkan ia dengan enaknya duduk diatas tunggangan unta.” Loroh salah satu diantara mereka menyindir sang Anak yang disambut dengan gelengan banyak kepala.

“Nak, mari tukar dirimu dengan Ayah. Ayah tidak ingin engkau menjadi durhaka karena ini. Turunlah engkau, biar Ayah yang menunggangi unta dan engkau berjalan.” Lanjut sang Ayah.
“Aduhai, tega benar lelaki itu. Lelaki macam apa ia yang tega duduk diatas tunggangan sementara anaknya berjalan kaki sendirian diatas tanah yang panas?” Suntak sindir lelaki yang satu.
“Hei dungu, ayah macam apa kau?! Padahal untamu tak lebih jelek daripada dirimu” Lanjutnya
“hahahaha…” Sambut lelaki yang lain.

“Nak, mari naik bersama ayah diatas. Mari kita tunggangi bersama unta ini.” Langkah sang Ayah menanggapi sindiran.
“Aduhai, apakah otak mereka seperti unta. Tak punyakah sedikit rasa kasihan pada unta itu?” Sindir lelaki yang lain.

“Nak, mari kita kita berdua turun. Barangkali ini cukup membuat mereka diam tak lagi mengejek diri kita.” Ucap sang Ayah dengan bijaksana.
“Demi bapakku penguasa kota ini, apakah mereka tak tahu bahwa unta untuk mereka tunggangi. Seberapa kaya memangnya mereka sampai-sampai tak sedikitpun menggunakannya?” Murka seorang lelaki yang dari pakaiannya nampak bahwa ialah pemimpin diantara mereka.

“Nak, mari ayah angkat dirimu untuk naik kembali diatas unta ini” Lanjut sang Ayah.
“Ayah, mengapa kita seperti ini? Mengapa kita diperlakukan seperti ini?” Tanya sang Anak.
“Inilah pasar nak, ada diantara mereka yang menjadikan kehinaan adalah pakaian dan menghina menjadi perhiasan mereka.”

“Anakku, Ayah ingin berpesan. Banyak yang tidak suka melihat kebaikan kita. Dan banyak pula yang tidak suka dengan keburukan kita. Hitam kita dianggap murka. Dan putih kita dianggap sok suci. Apapun yang kita kerjakan selalu salah dimata mereka.
Duhai anakku, teruslah berjuang dimanapun kau menapak, jadikan ejekan mereka orang-orang yang berdiri atau duduk, orang-orang yang kau lewati adalah ujian yang semakin menguatkanmu bukan membuatmu lemah dalam menapaki kebenaran. Allah Yang Maha Mengetahui sengaja menurunkan mereka duhai anakku untuk menguji kita, siapa diatara kita yang beriman dan siapa diantara kita yang sabar” Tutup sang Ayah mengakhiri perjalanan dengan sebuah hikmah.


Bekasi, 18 Maret 2010 – 04:46 am
Irfan “Mentari Klasik” Niawan

0 komentar:

Posting Komentar